Terimakasih Atas Kunjungan Anda

Selasa, 05 April 2011

Asuhan Keperawatan Abses Paru

A. PENGERTIAN ABSES PARU

Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material purulent berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan “necrotising pneumonia”.
Paru
Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda namun mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnosea sama pula. Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau virulensi kuman yang tinggi.

Pada umumnya kasus Abses paru ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol. Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn anaerob dari koloni oropharing yang sering menjadi penyebab abses paru.

B. ETIOLOGI ABSES PARU

Pendapat dari Prof. dr. Hood Alsagaff (2006) tentang penyebab abses paru sesuai dengan urutan frekuensi yang ditemukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah:
  1. Infeksi yang timbul dari saluran nafas (aspirasi)
  2. Sebagai penyulit dari beberapa tipe pneumonia tertentu
  3. Perluasan abses subdiafragmatika
  4. Berasal dari luka traumatik paru
  5. Infark paru yang terinfeksi
Pravelensi tertinggi berasal dari infeksi saluran pernafasan, mikroorganisme penyebab umumnya berupa campuran dari bermacam-macam kuman yang berasal dari flora mulut, hidung, tenggorokan, termasuk kuman aerob dan anaerob seperti Streptokok, Basil fusiform, Spirokaeta, Proteus, dan lain-lain.

Finegold SM dan Fishman JA (1998) mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 89% adalah kuman anaerob. Asher MI dan Beadry PH (1990) mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus.

Kuman penyebab abses paru menurut Asher MI dan Beadry PH (1990) antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Staphillococcus aereus: Haemophilus influenzae types B, C, F, and nontypable; Streptococcus viridans pneumoniae; Alpha-hemolytic streptococci; Neisseria sp; Mycoplasma pneumoniae
  2. Kuman Aerob: Haemophilus aphropilus parainfluenzae; Streptococcus group B intermedius; Klebsiella penumonia; Escherichia coli, freundii; Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificans; Aerobacter aeruginosa Candida; Rhizopus sp; Aspergillus fumigatus; Nocardia sp; Eikenella corrodens; Serratia marcescens
  3. Sedangkan kuman Anaerob: Peptostreptococcus constellatus intermedius, saccharolyticu;s Veillonella sp alkalenscenens; Bacteroidesmelaninogenicus oralis, fragilis, corrodens, distasonis, vulgatus ruminicola, asaccharolyticus Fusobacterium necrophorum, nucleatum Bifidobacterium sp.
Sedangkan Spektrum isolasi bakteri Abses paru akut menurut Hammond et al (1995) adalah:
  1. Anaerob: Provetella sp; Porphyromonas sp; Bacteroides sp; Fusobacterium sp; Anaerobic cocci: Microaerophilic streptococci; Veilonella sp; Clostridium sp; Nonsporing Gram-positive anaerobes.
  2. Aerob: Viridans streptococci; Staphylococcus sp; Corynebacterium sp; Klebsiella sp; Haemophilus sp; Gram-negative cocci
Sedangkan menurut Finegold dan Fishmans (1998), Organisme dan kondisi yang berhubungan dengan Abses paru:
  1. Bacteria Anaerob; Staphylococcus aureus, Enterbacteriaceae, Pseudomanas aeruginosa streptocicci, Legonella spp, Nocardia asteroides, Burkholdaria pseudomallei
  2. Mycobacteria (often multifocal): M. Tuberculosis, M. Avium complex, M. Kansasii.
  3. Fungi: Aspergillus spp, Mucoraceae, Histoplasma capsulatum, Pneumocystis carinii, Coccidioides immitis, Blastocystis homini
  4. Parasit: Entamoeba histolytical, Paragonimus westermani, Stronglyoides stercoralis (post-obstructive)

C. FAKTOR PREDISPOSISI ABSES PARU

  1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.
    Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker paru yang terinfeksi
  2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
    Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker esofagus, gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia
  3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses tergantung pada posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segment apikal lobus superior atau segmen superior lobus interior paru kanan, hanya kadang-kadang aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.
Abses paru baru akan timbul bila mikroorganisme yang masuk ke paru bersama-sama dengan material yang terhirup. Material yang terhirup akan menyumbat saluran pernafasan dengan akibat timbul atelektasis yang disertai dengan infeksi. Bila yang masuk hanya kuman saja, maka akan timbul pneumonia.

D. MANIFESTASI KLINIS ABSES PARU

Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya yaitu:
  1. Panas badan
    Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur > 400C.
  2. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe)
  3. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru.
  4. Nyeri yang dirasakan di dalam dada
  5. Batuk darah
  6. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.

E. PATHOFISIOLOGI ABSES PARU

Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
  1. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain misal abses hepar.
  2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses peradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
  3. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
  4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
Sedangkan menurut Prof. dr. Hood Alsagaff (2006) adalah:

Bila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela Pneumonia sebagai kuman komensal di saluran pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah, akibat aspirasi berulang, aspirat tak dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran nafas menurun sehingga terjadi keradangan. Proses keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol, menyebar ke parenchim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi.

Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi, sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai akan menyebabkan proses abses yang akut akan berubah menjadi proses yang kronis atau menahun.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. Laboratorium
    1. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3 bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.
    2. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
    3. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotika merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis serta tujuan therapi.
    4. Pemeriksaan AGD menunjukkan penurunan angka tekanan O2 dalam darah arteri
  2. Radiologi
    Pada foto thorak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran f 2 – 20 cm. Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri.
    Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi. Sedangkan gambaran khas CT-Scan abses paru ialah berupa Lesi dens bundar dengan kavitas berdinding tebal tidak teratur dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.
    Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru dan bronkhus yang berada dalam abses dapat terlihat dengan CT-Scan, juga sisa-sisa jaringan paru dapat ditemukan di dalam rongga abses. Lokalisasi abses paru umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.
  3. Bronkoskopi
    Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan therapi drainase bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.

G. PENATALAKSANAAN ABSES PARU

Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses paru :
  1. Medika Mentosa
    Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33%, pada era antibiotika maka tingkat kematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik. Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin, pada saat ini dijumpai peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob).
    Maka bisa dipikirkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin. Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan ß Lactamase inhibitase pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
    Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
  2. Drainage
    Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
  3. Bedah
    Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
    1. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
    2. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
    3. Infeksi paru yang berulang
    4. Adanya gangguan drainase karena obstruksi.

BAB. II. KONSEP KEPERAWATAN

PENGKAJIAN :

  1. Kaji riwayat faktor resiko seperti: Adanya riwayat aspirasi, infeksi saluran nafas (radang mulut, gigi dan gusi, tenggorokan), higiene oral yang kurang, peminum minuman keras atau masuknya suatu benda kedalam saluran pernafasan.
  2. Kaji adanya riwayat penyakit infeksi saluran nafas kronis seperti TBC, Bronkitis, Abses hepar
  3. Kaji adanya batuk dengan sputum yang berlebih serta bau yang khas serta batuk darah, nyeri yang dirasakan didalam dada, kelelahan, nafsu makan yang menurun
  4. Inspeksi: Pergerakan pernafasan menurun, tampak sesak nafas dan kelelahan
  5. Palpasi: Adanya fremitus raba yang meningkat di daerah yang terinfeksi panas badan yang meningkat diatas normal, takikardi, naiknya tekanan vena jugularis (JVP), sesak nafas, adanya jari tabuh,
  6. Perkusi: Terdengar keredupan pada daerah yang terinfeksi
  7. Auskultasi: Pada daerah sakit terdengar suara nafas bronkhial disertai suara tambahan kasar sampai halus.
  8. Pemeriksaan tambahan terutama laboratorium yang terjadi peningkatan angka leukosit dan laju endap darah serta terjadinya penurunan tekanan O2 arteri, rontgen dada terlihat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya yang tampak jelas lagi dengan pemeriksaan CT-Scan dada. Adanya masa tumor atau benda asing dalam pemeriksaan bronkoskopi.

PERENCANAAN ASUHAN KEPERAWATAN ABSES PARU

  1. Hiperthermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipothalamus
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Peningkatan suhu tubuh yang lebih besar dari jangkauan normal
      2. Kulit kemerahan
      3. Hangat waktu disentuh
      4. Peningkatan tingkat pernafasan.
      5. Takikardi
    2. Tujuan:
      1. Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan
    3. Kriteria hasil:
      1. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
    4. Rencana tindakan:
      1. Pantau suhu pasien (derajat dan pola); perhatikan menggigil/diaforesis
      2. Pantau suhu lingkungan
      3. Berikan kompres hangat dan ajarkan serta anjurkan keluarga
      4. Kolaborasi: Antipiretik, Antibiotik
  2. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, batuk tak efektif, dan infeksi bronkopulmonal
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Pernyataan kesulitan bernafas
      2. Perubahan atau kecepatan pernafasan, penggunaan otot aksesori
      3. Bunyi nafas tak normal
      4. Batuk.
    2. Tujuan :
      1. Mempertahakan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.
    3. Kriteria hasil :
      1. Menujukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas (batuk yang efektif, dan mengeluarkan secret).
    4. Rencana Tindakan :
      1. Kaji /pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi dan ekspirasi
      2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas bronkhial
      3. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, Tinggi kepala tempat tidur dan duduk pada sandaran tempat tidur
      4. Bantu latihan nafas abdomen
      5. Observasi karakteriktik batuk dan Bantu tindakan untuk efektifan upaya batuk
      6. Tingkatan masukan cairan sampi 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung serta berikan hangat dan masukan cairan antara sebagai penganti makan
      7. Berikan obat sesuai indikasi
      8. Ajarkan dan anjurkan fisioterapi dada, postural drainase
      9. Awasi AGD, Foto dada
      10. Kolaborasi: Bronkodilator, Antibiotika, Drainase Bronkoskopi
  3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan kerusakan alveoli.
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Dypsnea
      2. Bingung/gelisah
      3. Ketidak mampuan mengeluarkan sekret
      4. Nilai AGD tidak normal
      5. Perubahan tanda vital
      6. Penurunan toleransi terhadap aktifitas
    2. Tujuan :
      1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
    3. Kriteria :
      1. GDA dalam batas normal, warna kulit membaik, frekuensi nafas 12- 20x/mt, bunyi nafas bersih, tidak ada batuk, frekuensi nadi 60-100x/mt, tidak dispneu.
    4. Rencana Tindakan :
      1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan serta catat penggunaan otot aksesori, ketidakmampuan berbincang
      2. Tingikan kepala tempat tidur dan bantu untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan sesuai kebutuhan dan toleransi .
      3. Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
      4. Dorong untuk pengeluaran sputum/ penghisapan bila ada indikasi
      5. Awasi tingkat kesadaran / status mental
      6. Awasi tanda vital dan status jantung
      7. Berikan oksigen tambahan dan pertahankan ventilasi mekanik dan Bantu intubasi
  4. Nyeri berhubungan dengan Inflamasi parenkhim paru, Reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin, Batuk menetap
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Nyeri dada pleuritik
      2. Melindungi area yang sakit
      3. Perilaku distraksi, gelisah
    2. Tujuan:
      1. Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
    3. Kriteria hasil:
      1. Menunjukkan perilaku rilek
      2. Bisa istirahat/tidur
      3. Peningkatan aktifitas dengan tepat
    4. Rencana tindakan:
      1. Tentukan karakteristik nyeri: PQRST
      2. Pantau tanda vital
      3. Berikan tindakan nyaman: pijatan punggung, perubahan posisi, relaksasi dan distraksi
      4. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk
      5. Kolaborasi: Analgetik
  5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, Kelemahan umum, Kelelahan yang berhubungan dengan batuk berlebihan dan dipsneu
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Laporan verbal kelemahan, kelelahan, keletihan
      2. Dipsneu karena aktifitas
      3. Takikardi sebagai respon terhadap aktifitas
      4. Terjadinya pucat/cianosis setelah beraktifitas
    2. Tujuan :
      1. Klien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
    3. Kriteria hasil :
      1. Menurunnya keluhan tentang napas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas
      2. Tanda vital dalam batas normal setelah beraktifitas
      3. Kebutuhan ADL terpenuhi
    4. Rencana Tindakan:
      1. Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas
      2. Berikan bantuan dalam melaksanakan aktivitas sesuai yang diperlukan dan dilakukan secara bertahap
      3. Libatkan keluarga dala pemenuhan kebutuhan pasien serta peralatan yang mudah terjangkau
      4. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
  6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah mengerti tentang informasi, keterbatasan kognitif
    1. Dapat ditandai dengan:
      1. Pertanyaan tentang informasi
      2. Pernataan masalah/kesalahan konsep
      3. Tidak akurat mengikuti instruksi
    2. Tujuan:
      1. Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan
    3. Kriteria hasil:
      1. Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala yang ada dari proses penyakit dan menghubungkan dengan faktor penyebab
      2. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
    4. Rencana tindakan:
      1. Jelaskan/kuatkan penjelasan proses penyakit individu
      2. Dorong pasien/orang terdekat untuk menanyakan pertanyaan
      3. Instruksikan atau kuatkan rasional untuk latihan nafas, batuk efektif, dan latihan kondisi umum
      4. Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi tak diinginkan
      5. Tekankan pentingnya perawatan oral atau kebersihan mulut
      6. Kaji efek bahaya minuman keras dan nasehatkan menghentikan minum minuman keras pada pasien dan atau orang terdekat
      7. Berikan informasi tentang pembatasan aktifitas dan aktifitas pilihan dengan periode istirahat untuk mencegah kelemahan
      8. Diskusikan pentingnya mengikuti perwatan medik, foto dada periodik, dan kultur sputum
      9. Rujuk untuk evaluasi perawatan di rumah bila di indikasikan. Berikan rencana perawatan detail dan pengkajian dasar fisik untuk perawatan dirumah sesuai kebutuhan pulang.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Asher MI, Beadry PH ; 1990, Lung Abscess in infections of Respicatory tract ; Canada
  2. Baughman, Diane C; 2000; Keperawatan Medikal-Bedah: Buku saku untuk Brunner & Sudarth; Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
  3. Capernito, Linda Juall; 1998; Diagnosa keperawatan: Aplikasi pada praktek klinis; Edisi ke-6 Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
  4. Doenges, Marilynn E; 1999; Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien; Edisi ke-3 Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
  5. Finegold SM, Fishman JA; 1998; Empyema and lung Abcess; in Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 3rded; Philadelphia
  6. Hammond JMJ et al; 1995, The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess ; Chest ;; 937 – 41.
  7. Hood Alsagaff, Prof. dr; 2006; Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru; Airlangga University Press, Surabaya
  8. Kardjito, Thomas; 1994; Pedoman Diagnosis Therapi; Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya
  9. Sabiston; 1994; Buku ajar Bedah bag: 2; Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
  10. Sjahriar Rasad; 2005; Radiologi Diagnostik; Edisi ke-2; Balai penerbit FKUI, Jakarta
  11. Smeltzer, Suzanne C; 2001; Buku ajar keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Sudarth; Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 

Asuhan Keperawatan Pneumonia

DEFINISI PNEUMONIA

Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi. (Price, 1995)

Pneumonia Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. (Zul, 2001)

Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001).

KLASIFIKASI PNEUMONIA

Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001) :
  1. Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
    1. Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis.
    2. Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
  2. Berdasarkan faktor lingkungan
    1. Pneumonia komunitas
    2. Pneumonia nosokomial
    3. Pneumonia rekurens
    4. Pneumonia aspirasi
    5. Pneumonia pada gangguan imun
    6. Pneumonia hipostatik
  3. Berdasarkan sindrom klinis
    1. Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.
    2. Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella.
Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) :
  1. Community Acquired Pneunomia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia Streptococal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
  2. Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme seperti ini aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab hospital acquired pneumonia.
  3. Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
  4. Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme perusak.

ETIOLOGI

  1. Bakteri
    Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
  2. Virus
    Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
  3. Jamur
    Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
  4. Protozoa
    Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001)

PATHWAYS PNEUMONIA

Download PATHWAY BRONKOPNEUMONIAE

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis dari bronkopneumonia adalah antara lain:
  1. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
    1. Nyeri pleuritik
    2. Nafas dangkal dan mendengkur
    3. Takipnea
  2. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
    1. Mengecil, kemudian menjadi hilang
    2. Krekels, ronki, egofoni
  3. Gerakan dada tidak simetris
  4. Menggigil dan demam 38,8 ° C sampai 41,1°C, delirium
  5. Diaforesis
  6. Anoreksia
  7. Malaise
  8. Batuk kental, produktif
    1. Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat
  9. Gelisah
  10. Sianosis
    1. Area sirkumoral
    2. Dasar kuku kebiruan
  11. Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati

PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
  2. Analisa Gas Darah (GDA) : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
  3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
  4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
  5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
  6. LED : meningkat
  7. Pemeriksaan fungsi paru : volume ungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
  8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
  9. Bilirubin : mungkin meningkat
  10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 1999)

PENATALAKSANAAN

  1. Kemoterapi
    Pemberian kemoterapi harus berdasarkan pentunjuk penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis (Harasawa, 1989).
  2. Pengobatan Umum
    1. Terapi Oksigen
    2. Hidrasi
      Bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat hidrasi dilakukan secara parenteral
    3. Fisioterapi
      Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.

PENGKAJIAN

  1. Aktivitas / istirahat
    1. Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
    2. Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
  2. Sirkulasi
    1. Gejala : riwayat gagal jantung kronis
    2. Tanda : takikardi, penampilan keperanan atau pucat
  3. Integritas Ego
    1. Gejala : banyak stressor, masalah finansial
  4. Makanan / Cairan
    1. Gejala : kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
    2. Tanda : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi
  5. Neurosensori
    1. Gejala : sakit kepala bagian frontal
    2. Tanda : perubahan mental
  6. Nyeri / Kenyamanan
    1. Gejala : sakit kepala, nyeri dada meningkat dan batuk, myalgia, atralgia
  7. Pernafasan
    1. Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
    2. Tanda : sputum ; merah muda, berkarat atau purulen
    3. Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural
    4. Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas Bronkial
    5. Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
    6. Warna : pucat atau sianosis bibir / kuku
  8. Keamanan
    1. Gejala : riwayat gangguan sistem imun, demam
    2. Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubela / varisela
  9. Penyuluhan
    1. Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis

RENCANA KEPERAWATAN

  1. Diagnosa Perawatan : Kebersihan jalan nafas tidak efektif
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatan produksi sputum
      2. Nyeri pleuritik
      3. Penurunan energi, kelemahan
    2. Kemungkinan dibuktikan dengan :
      1. Perubahan frekuensi kedalaman pernafasan
      2. Bunyi nafas tak normal, penggunaan otot aksesori
      3. Dispnea, sianosis
      4. Batuk efektif/tidak efektif dengan/tanpa produksi sputum
    3. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas
      2. Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnea atau sianosis
    4. Intervensi :
      1. Mandiri
      2. Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada
      3. Auskultasi paru, catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
      4. Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
      5. Penghisapan sesuai indikasi
      6. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
      7. Kolaborasi
      8. Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain
      9. Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik
      10. Berikan cairan tambahan
      11. Awasi seri sinar ‘X’ dada, GDA, nadi oksimetri
      12. Bantu bronkoskopi / torakosintesis bila diindikasikan
  2. Diagnosa Perawatan : Kerusakan pertukaran gas
    1. Dapat dihubungkan dengan:
      1. Perubahan membran alveolar – kapiler (efek inflamasi)
      2. Gangguan kapasitas oksigen darah
    2. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Dispnea, sianosis
      2. Takikardi
      3. Gelisah/perubahan mental
      4. Hipoksia
    3. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan
      2. Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen
    4. Intervensi :
      1. Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
      2. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku
      3. Kaji status mental
      4. Awasi status jantung/irama
      5. Awasi suhu tubuh, sesui indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil
      6. Pertahankan istirahat tidur
      7. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif
      8. Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah/perasaan.
      9. Berikan terapi oksigen dengan benar
      10. Awasi GDA
  3. Diagnosa Perawatan : Pola nafas tidak efektif
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Proses inflamasi
      2. Penurunan complience paru
      3. Nyeri
    2. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Dispnea, takipnea
      2. Penggunaan otot aksesori
      3. Perubahan kedalaman nafas
      4. GDA abnormal
    3. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukkan pola pernafasan normal/efektif dengan GDA dalam rentang normal
    4. Intervensi :
      1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
      2. Auskultasi bunyi nafas
      3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
      4. Observasi pola batuk dan karakter sekret
      5. Dorong/bantu pasien nafas dalam dan latihan batuk efektif
      6. Berikan Oksigen tambahan
      7. Awasi GDA
  4. Diagnosa Perawatan : Peningkatan suhu tubuh
    1. Dapat dihubungkan :
      1. Proses infeksi
    2. Kemungkinan dibuktukan oleh :
      1. Demam, penampilan kemerahan
      2. Menggigil, takikardi
    3. Kriteria Hasil :
      1. Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
      2. Tidak menggigil
      3. Nadi normal
    4. Intervensi :
      1. Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
      2. Pantau warna kulit
      3. Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan
      4. Berikan obat sesuai indikasi : antipiretik
      5. Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari
  5. Diagnosa Perawatan : Resiko tinggi penyebaran infeksi
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Ketidakadekuatan pertahanan utama
      2. Tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
    2. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Tidak dapat diterapkan tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual
    3. Kriteria Hasil :
      1. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
      2. Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi
    4. Intervensi :
      1. Pantau TTV
      2. Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
      3. Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
      4. Ubah posisi dengan sering
      5. Batasi pengunjung sesuai indikasi
      6. Lakukan isolasi pencegahan sesuai individu
      7. Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
      8. Berikan antimikrobal sesuai indikasi
  6. Diagnosa Perawatan : Intoleransi aktivitas
    1. Dapat dihubungkan dengan
      1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
      2. Kelemahan, kelelahan
    2. Kemungkinan dibuktikan dengan :
      1. Laporan verbal kelemahan, kelelahan dan keletihan
      2. Dispnea, takipnea
      3. Takikardi
      4. Pucat / sianosis
    3. Kriteria Hasil :
      1. Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal
    4. Intervensi :
      1. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
      2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung
      3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
      4. Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
      5. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
  7. Diagnosa Perawatan : Nyeri
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Inflamasi parenkim paru
      2. Reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin
      3. Batuk menetap
    2. Kemungkinan dibuktikan dengan :
      1. Nyeri dada
      2. Sakit kepala, nyeri sendi
      3. Melindungi area yang sakit
      4. Perilaku distraksi, gelisah
    3. Kriteria Hasil :
      1. Menyebabkan nyeri hilang / terkontrol
      2. Menunjukkan rileks, istirahat / tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat
    4. Intervensi :
      1. Tentukan karakteristik nyeri
      2. Pantau TTV
      3. Ajarkan teknik relaksasi
      4. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
  8. Diagnosa Perawatan : Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi
      2. Anoreksia distensi abdomen
    2. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukkan peningkatan nafsu makan
      2. Berat badan stabil atau meningkat
    3. Intervensi :
      1. Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
      2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
      3. Auskultasi bunyi usus
      4. Berikan makan porsi kecil dan sering
      5. Evaluasi status nutrisi
  9. Diagnosa Perawatan : Resti kekurangan volume cairan
    1. Faktor resiko :
      1. Kehilangan cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi, muntah)
    2. Kriteria Hasil :
      1. Balance cairan seimbang
      2. Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler cepat
    3. Intervensi :
      1. Kaji perubahan TTV
      2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa
      3. Catat laporan mual / muntah
      4. Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
      5. Hitung keseimbangan cairan
      6. Asupan cairan minimal 2500 / hari
      7. Berikan obat sesuai indikasi ; antipirotik, antiametik
      8. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
  10. Diagnosa Perawatan : Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan
    1. Dapat dihubungkan dengan :
      1. Kurang terpajan informasi
      2. Kurang mengingat
      3. Kesalahan interpretasi
    2. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Permintaan informasi
      2. Pernyataan kesalahan konsep
      3. Kesalahan mengulang
    3. Kriteria Hasil :
      1. Menyatakan permahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan
      2. Melakukan perubahan pola hidup
    4. Intervensi
      1. Kaji fungsi normal paru
      2. Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan
      3. Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal
      4. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif
      5. Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Doenges, Marilynn (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.
  2. Lackman’s (1996). Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company.
  3. Pasiyan Rahmatullah (1999), Geriatri : Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Editor : R. Boedhi Darmoso dan Hadi Martono, Jakarta, Balai Penerbit FKUI
  4. Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.
  5. Smeltzer SC, Bare B.G (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I, Jakarta : EGC
  6. Suyono, (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 

Senin, 04 April 2011

Asuhan Keperawatan efusi Pleura

A.     Definisi
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000)
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995)

B.     Etiologi
  1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
  2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
*        Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
*        Penurunan tekanan osmotic koloid darah
*        Peningkatan tekanan negative intrapleural
*        Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
C.     Tanda dan Gejala
*        Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
*        Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
*        Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
*        Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
*        Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
*        Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

D.    Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

E.     Pemeriksaan Diagnostik
*        Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
*        Ultrasonografi
*        Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
*        Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH.
*        Biopsi pleura mungkin juga dilakukan

F.      Penatalaksanaan medis
q     Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
q      Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
q     Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
q     Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
q     Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.

G.    Water Seal Drainase (WSD)
1.      Pengertian
WSD adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan melalui selang dada.

2.      Indikasi
a.       Pneumothoraks karena rupture bleb, luka tusuk tembus
b.      Hemothoraks karena robekan pleura, kelebihan anti koagulan, pasca bedah toraks
c.       Torakotomi
d.      Efusi pleura
e.       Empiema karena penyakit paru serius dan kondisi inflamasi

3.      Tujuan Pemasangan
*        Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura
*        Untuk mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
*        Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian
*        Untuk mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada.

4.      Tempat pemasangan
a.       Apikal
ü      Letak selang pada interkosta III mid klavikula
ü      Dimasukkan secara antero lateral
ü      Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b.      Basal
ü      Letak selang pada interkostal V-VI atau interkostal VIII-IX mid aksiller
ü      Fungsi : untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura

5.      Jenis WSD
·        Sistem satu botol
Sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada pasien dengan simple pneumotoraks
·        Sistem dua botol
Pada system ini, botol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan botol kedua adalah botol water seal.
·        System tiga botol
Sistem tiga botol, botol penghisap control ditambahkan ke system dua botol. System tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan.

H.    Pengkajian
1.      Aktifitas/istirahat
Gejala : dispneu dengan aktifitas ataupun istirahat
2.      Sirkulasi
Tanda : Takikardi, disritmia, irama jantung gallop, hipertensi/hipotensi, DVJ
3.      Integritas ego
Tanda : ketakutan, gelisah
4.      Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral/ infus
5.      nyeri/kenyamanan
Gejala tergantung ukuran/area terlibat : Nyeri yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi
6.      Pernapasan
Gejala : Kesulitan bernapas, Batuk, riwayat bedah dada/trauma,
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi interkostal, Bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi terlibat), Perkusi dada : hiperresonan diarea terisi udara dan bunyi pekak diarea terisi cairan
Observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau kemps, penurunan pengembangan (area sakit). Kulit : pucat, sianosis,berkeringat, krepitasi subkutan

I.       Diagnosa Keperawatan
1.      Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : dispneu, takipneu, perubahan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori, gangguan pengembangan dada, sianosis, GDA taknormal.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria hasil :
-         Menunjukkan pola napas normal/efektif dng GDA normal
-         Bebas sianosis dan tanda gejala hipoksia
Intervensi :
*        Identifikasi etiologi atau factor pencetus
*        Evaluasi fungsi pernapasan (napas cepat, sianosis, perubahan tanda vital)
*        Auskultasi bunyi napas
*        Catat pengembangan dada dan posisi trakea, kaji fremitus.
*        Pertahankan posisi nyaman biasanya peninggian kepala tempat tidur
*        Bila selang dada dipasang :
a.       periksa pengontrol penghisap, batas cairan
b.      Observasi gelembung udara botol penampung
c.       Klem selang pada bagian bawah unit drainase bila terjadi kebocoran
d.      Awasi pasang surutnya air penampung
e.       Catat karakter/jumlah drainase selang dada.
*        Berikan oksigen melalui kanul/masker

2.      Nyeri dada b.d factor-faktor biologis (trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
-         Pasien mengatakan nyeri berkurang  atau dapat dikontrol
-         Pasien tampak tenang
Intervensi :
*        Kaji terhadap adanya nyeri, skala dan intensitas nyeri
*        Ajarkan pada klien tentang manajemen nyeri dengan distraksi dan relaksasi
*        Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi
*        Kaji keefektifan tindakan penurunan rasa nyeri
*        Berikan analgetik sesuai indikasi
3.      Resiko tinggi trauma/henti napas b.d proses cidera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan
Tujuan : tidak terjadi trauma atau henti napas
Kriteria hasil :
-         Mengenal kebutuhan/mencari bantuan untuk mencegah komplikasi
-         Memperbaiki/menghindari lingkungan dan bahaya fisik
Intervensi :
*        Kaji dengan pasien tujuan/fungsi unit drainase, catat gambaran keamanan
*        Amankan unit drainase pada tempat tidur dengan area lalu lintas rendah
*        Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit, ganti ulang kasa penutup steril sesuai kebutuhan
*        Anjurkan pasien menghindari berbaring/menarik selang
*        Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak lepas/tercabut.

4.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
Tujuan : Mengetahui tentang kondisinya dan aturan pengobatan
Kriteria hasil :
-         Menyatakan pemahaman tentang masalahnya
-         Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk mencegah terulangnya masalah
Intervensi :
*        Kaji pemahaman klien tentang masalahnya
*        Identifikasi  kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang
*        Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, nutrisi, istirahat, latihan
*        Berikan informasi tentang apa yang ditanyakan klien
*        Berikan reinforcement atas usaha yang telah dilakukan klien .



DAFTAR PUSTAKA

  1. Baughman C Diane, Keperawatan medical bedah, Jakrta, EGC, 2000.
  2. Doenges E Mailyn, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta, EGC. 1999
  3. Hudak,Carolyn M. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol.1, Jakarta.EGC. 1997
  4. Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
  5. Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta. EGC. 1995.
  6. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.
  7. Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC, 1997.
  8. Susan Martin Tucker, Standar perawatan Pasien: proses keperawatan, diagnosis, dan evaluasi. Ed5. Jakarta EGC. 1998.